Sunday, April 10, 2016

Part 12

"Apa yang terjadi?!"

Kereta yang membawa Emma seketika melambat dan kemudian berhenti. Lampu yang menyinari setiap bagian lorong padam. Seketika semua orang berteriak panik di dalam kereta dan yang bisa Emma rasakan kali ini hanya ketakutan. Ketakutan yang seakan-akan siap memakannya kapan saja. Ketakutan yang biasanya hanya diam, kini selangkah maju berada di depannya. Ingin rasanya ia berteriak, namun tenggorokannya tercekat, tak bisa lagi menemukan sisa-sisa suaranya.

Tiba-tiba seberkas cahaya putih menyinari ujung lorong kereta ini, sepertinya Green Garden Station hanya berjarak beberapa meter lagi. Emma teringat akan sesuatu dan langsung saja mencari telepon genggam dalam tasnya. Dimana telepon genggamku? Ah di saat genting seperti ini dan kau menghilang, sungguh.

Tangannya terus merogoh ke dalam tas besar berwarna hitam yang penuh sesak dengan barang-barang dan entah mengapa baru sekarang ia sadar banyak sekali barang yang tidak benar-benar diperlukan. Emma merasakan tubuhnya ditabrak seseorang dari belakang dan semakin banyak orang yang terus mendesaknya. Ia hanya bisa berpegangan pada tiang besi yang berada dalam jangkauan tubuh mungil berbalut jaket musim dingin itu. Emma pun mendesah. Di saat seperti ini pekerjaan yang paling mudah menjadi pekerjaan paling sulit dalam hidupnya. Apakah Alvin tau aku terjebak di dalam sini? Bagaimanapun aku harus keluar, but how?


***
Siaran berita pagi ini benar-benar membuat dirinya tercekat. Ia tahu pasti wanita itu sedang menuju Green Garden Station tempatnya akan menemui pria itu. Reporter pria dalam berita itu mengatakan dengan jelas kereta apa dan pada pukul berapa kejadian itu terjadi. Tidak. Tidak mungkin Emma berada di dalamnya, dia saja tidak mengabariku.

"Apakah lampu kereta itu padam? Oh no! Ems takut sekali dengan gelap. Oh tidak, tidak, jangan berpikir yang aneh-aneh kau. Ia pasti bisa menemukan jalan keluar, somehow."

Lampu telepon genggam Kevin berpendar-pendar. Segera mungkin ia mengangkat telepon genggam tanpa melihat nama peneleponnya.

"Halo? Ems?"
"Hei hei. Iya ini aku. Bagaimana kau tahu?"
"Ah thanks God, you're alive sweety!"
"Apa? Jadi kau berpikir aku sudah mati ya? Keterlaluan dirimu."
"Eh, tentu saja tidak Ems. Aku baru saja melihat berita di saluran televisi ketika mereka mengabarkan keretamu kebakaran. Kau tidak apa-apa kan? Perlu aku jemput dirimu disana?"
"Hahaha tidak perlu Kev, aku baik-baik saja dan keluar tanpa satupun luka. Jadi kau tidak perlu khawatir oke? Sebelum aku keluar aku sudah melihat percikan api, jadi aku mempercepat langkahku ketika evakuasi dilakukan."
"Oh syukurlah. Aku takut kau kenapa-kenapa, Ems. Anyway, kau sekarang dimana?"
"Tenang saja, aku tidak serapuh itu sayang. Aku, dimana ya? Di luar Green Garden Station. Banyak sekali orang mengerumuni stasiun ini. Hahaha, kau sudah...."
"Ems? Aku sudah apa? Mengapa kau tidak menyelesaikan kata-katamu?"
"Kev... Aku melihat..."
"Melihat apa? Apa yang kau lihat? Ems? Hei Ems?... Hello? Ems?"

Sambungan terputus. Kevin tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia menimbang-nimbang antara harus membiarkan Emma pergi atau meneleponnya kembali. Ketika ia memutuskan untuk menghubungi wanita itu, seseorang mengetuk pintu kerjanya.
"Ya?"

Lalu wanita paruh baya itu membuka pintunya dan mengatakan bahwa ada seseorang yang ingin menemuinya. Di saat genting seperti ini?
"Bisakah ia menunggu?"
"Tidak bisa Pak. Beliau mengatakan ini urusan yang sangat penting."

Kevin menghela napas dan menyerah, ia mengangguk tanda akan segera menemui orang itu. Pikirannya campur aduk setelah Emma menutup teleponnya begitu saja. Ia penasaran dengan apa yang dilihatnya. Mengapa suaranya seperti sedang melihat orang yang ditakutinya? Ah, mungkin hanya perasaanku saja. Aku akan menghubunginya nanti.

***


to be continued

No comments: