Sunday, October 27, 2013

Part 7

Ia benar-benar harus keluar dari lingkaran ini. Entah apa yang akan ia lakukan, tapi langkah pertama sudah ia lakukan dan setidaknya hal jujur yang bisa ia katakan adalah, ia sedang tidak baik-baik saja. Ia sangat tidak baik-baik saja dan butuh lelaki itu. Ia tidak tau mengapa ia melakukan hal ini padahal banyak orang mengatakan mereka sangat serasi dan sudah sangat melengkapi satu sama lain.

Tetapi, kadang memang kenyataan tidak seperti yang semua orang harapkan. Ketika kau berharap semua akan berjalan baik-baik saja tetapi Tuhan berkata lain dan inilah yang sedang Emma hadapi. Kenyataan pahit yang harus ia tanggung sendiri, tanpa Alvin harus tahu.



***

"Emma.."
"Ya? Ada apa memanggilku? Sabar sebentar aku belum menyelesaikan pekerjaanku."
"Hentikan pekerjaanmu dulu sayang. Aku ingin bertanya sesuatu padamu.
"Tentang apa? Aku tidak bisa berlama-lama."
"Apa kau sungguh yakin untuk menikahinya?"
"Alvin maksud Ayah? Tentu saja dong, dia sudah seperti.."
"Hidupmu. Aku tau itu sayang. Tapi, apa kau benar-benar ingin menikahinya?"
"Of course! Kenapa bertanya seperti itu? Aku sudah bertunangan dan akan segera menikah dengannya. Bukannya kau menginginkan hal itu juga? Aku akan menikah dan melahirkan anak-anak yang lucu dan imut Yah.."
"Sayang, dia tidak seperti yang kamu bayangkan."
"Well kenapa itu? Kurasa itu tidak akan menghentikanku kalau itu maksudmu."
"Aku tau tidak akan ada yang dapat menghentikanmu memilikinya."

Emma bingung kemana arah pembicaraan Ayahnya ini. Ia langsung meletakkan pena yang sedari tadi ia pegang dan memutar badannya sehingga bisa melihat wajah Ayahnya. Ia tau ada maksud tersembunyi di balik kata-kata itu, dan tentu saja Emma tidak suka dibuat penasaran.
"Jadi maksudmu apa? Aku benar-benar tidak mengerti."
"Kau tau dulu aku pernah sempat dekat dengan wanita Eropa?"
"Iya aku tau lalu kenapa Yah? Apa hubungannya denganku?"
"Sebelum aku mengenal Ibumu, kurang lebih 30 tahun yang lalu, aku menjalin hubungan dengan wanita ini dan kemarin.."
"Kemarin ada apa?"
"Beberapa minggu lalu maksud Ayah, dia menghubungiku lagi."

Kerutan di dahi Emma bertambah, membuatnya semakin bingung. Lantas kalau Ayahnya dihubungi lagi oleh wanita itu apa yang harus aku lakukan? Lagipula Ibu juga sudah tidak ada. Peristiwa itu... Mengapa bukan ia saja yang menaiki kendaraan itu?
"Jangan mengingat soal Ibumu. Ia sudah pergi dengan tenang dan biarlah seperti itu."
"Ah tidak..."
"Matamu berkaca-kaca Em."

Tanpa ia sadari sebutir air mata menuruni pipinya yang langsung membuatnya refleks mengusap air mata itu dengan telapak tangannya. Ibu, andai kau benar-benar disini sekarang. Aku tidak perlu berharap kau hadir dalam pernikahanku kelak.
"Oh baiklah sayang. Kau mau aku teruskan atau tidak? Aku bisa meneruskannya ketika kau tidak sedih lagi."
"Tidak apa-apa Yah. Teruskan saja aku mendengarmu hehe."
"Kau yakin?"
"Iya. Sangat yakin."

Ayah Emma tersenyum melihat putri kesayangannya dan kembali meneruskan pembicaraan itu. Ia sangat tak ingin putrinya salah memilih pasangan hidup termasuk lelaki ini. Meski pada awalnya memang ia merestui kedua pertunangan Emma, namun ia sadar kecurigaannya selama ini benar. Kecurigaan yang membuat ia menganga tak sanggup menutupi kekagetannya. Kecurigaan atas suatu kejanggalan yang tidak bisa dipungkiri lagi.

Emma harus tau semua ini. Yang harus ia lakukan hanya harus mempersingkat kebahagiaan ini. Oh well kenapa aku seperti orang jahat? Aku hanya ingin putriku bahagia dengan mengakhiri ini. That's it.

to be continued.


No comments: