Friday, June 15, 2018

Is it real?

I find myself full of anger. Rasanya kaya udah lama banget tersimpen dalam diri dan udah siap buat dimuntahin kapanpun. Pengen teriak sekenceng-kencengnya, pengen ngehajar apapun yang bisa dihajar in a way untuk merealisasikan kemarahan ini.

Realita jahat banget. Dari luar semuanya baik-baik aja, tapi dari dalam semuanya tererupsi hebat. Bertahun-tahun punya role model yang penuh dengan amarah, semuanya dipendam dan diluapkan dengan teriakan nyaring. Cukup memekakkan batiniah dan dengan sendirinya tidak menyadari perbuatannya menumbuhkan biji luka. Kepribadian yang penuh luka, penuh kebencian akan masa lalu, yang tidak sepenuhnya sembuh, menurunkan semua bumbu itu ke generasi setelahnya.

Penolakan menjadi cara termudah untuk lari dan menutup diri. Copimg style yang diadaptasi seumur hidup yang hanya berujung pada ketidak-penerimaan diri akan realita. Ketika merasa seperti ini, di puncak-puncaknya, yang hanya ingin dilakukan hanyalah menangis dan memeluk seseorang. Terlihat menyedihkan, tapi diri ini pun tidak bisa mengubah orang-orang termasuk orang yang dikasihi.

Selalu disalahkan, kadang hampir tak dianggap ada. Ya, ya, saya melakukan generalisasi karena tidak selalu seperti itu. Tapi untuk dapat berada di posisi worthless butuh waktu cukup lama untuk menjadi terbiasa bukan? Bayangkan ketika kamu bertanya hal esensial, dimana kamu butuh jawaban secepatnya, justru kamu hanya didiamkan. Bayangkan ketika kamu berada bersama-sama dan hanya kamu yang tidak diajak bicara. Kamu tidak puasa bicara, tapi kamu dikondisikan seakan-akan orang malas berbicara padamu. Bayangkan ketika orang lain dibujuk, diajak bicara baik-baik sedangkan kamu cuman bisa disensiin, disuruh dengan amarah yang terpendam. Bayangkan kalau semua ini terjadi dalam microsystem (teori Bronfenbrenner) kamu. Hidup segan, mati pun tak mau.

Tiba-tiba terpikir untuk pergi ke suatu tempat, menenangkan diri, menyembuhkan diri sekaligus mengejar impian yang selama ini di angan. Berada di limgkungan yang cukup korosif membuat potensi diri terhambat. Terlebih tidak adanya dukungan moral yang justru lebih penting ketimbang dukungsn materil. Sungguh, saya ingin pergi. Menjernihkan isi hati bersama Tuhan yang tak tau mau memakai saya seperti apa. Ketika ada kesempatan, pasti saya ambil, setidaknya ke tempat yang susah untuk diintervensi.

Demikian cerita ini. Tolong beritahu saya, is it real?

No comments: