Tetapi bagi Alvin, hari ini adalah hari lain saat ia harus bisa bertahan. Hari lain dimana matahari kembali bersinar. Ya, 8 bulan sudah semenjak kejadian itu. Kejadian yang benar-benar menorehkan luka dan meninggalkan bekas. Kejadian yang membuat Alvin berpikir hidup tiada artinya. Kejadian yang menyakiti hatinya.
Dia.
***
"Aku tidak bisa menikahimu."
"APA?!", mata Alvin sontak melotot mendengar perkataannya. Hatinya berdegup sangat kencang. Ia gugup, tak tau harus berbuat apa. Semua seakan terjadi begitu saja. Alvin benar-benar kehilangan kata-kata, rasanya ia ingin saja hilang ditelan bumi sekarang.
"Aku.. minta maaf.."
"Mengapa kau.. tidak bisa menikah.. denganku?"
"Aku.. sebenarnya ingin mengatakan ini padamu. Hanya saja aku.."
"Mengapa kau.. seperti ini?"
Hati Alvin terasa disayat-sayat, ia tidak bisa merasakan dimana kakinya berpijak dan dunia serasa berputar di hadapannya. Sungguh bukan itu yang ia inginkan. Bukan kata-kata itu yang ia harapkan keluar dari dirinya.
"Aku tidak bermaksud menyakitimu..."
"Bisakah kau.. mengatakannya padaku? Ini hanya leluconmu kan? Hahaha"
"Aku..aku..," Air mata mulai menetes dari pelupuk matanya. Alvin bahkan bisa merasakan kesedihan yang menjalari seluruh tubuh. Ia tak tahan. Ia tau perempuan di hadapannya sedang tidak berbohong dan ia hanya ingin dirinya tidak mempercayai itu. Tetapi... mengapa sesulit ini.
Tiba-tiba Alvin berdiri dan berjalan menuju jendela besar di samping meja makan. Sekilas ia melihat perempuan itu menatapnya bingung. Ia hanya bisa berdiri dan menatap pemandangan di luar apartemennya. Ia mulai menggigiti bagian bawah bibirnya, berharap suara akan keluar dari mulut kecil perempuan itu.
"Aku minta... maaf. Aku sungguh tak ingin menyakitimu. Aku hanya ingin kau bahagia tetapi..."
"Bahagia? Ini kebahagiaan menurutmu? Setelah apa yang kita lewati bersama, kau menginginkan ini?"
"Tidak.."
"Lalu apa?"
"Aku hanya tidak bisa mengatakannya padamu."
Alvin geram. Ingin ia berteriak tetapi kata-kata perempuan itu selalu meluluhkannya. Ia tidak bisa.
"Sekarang apa maumu?"
"Apa?"
"Kau mendengarku."
Keheningan kembali menyelimuti ruangan di sekitar mereka. Perempuan itu tampak berpikir keras sebelum akhirnya ia kembali mengangkat kepala dan melihat ke dalam mata Alvin. Tatapan yang mengarah ke mata Alvin, tatapan yang membunuhnya dahulu kini tampak kosong.
"Permintaanku sederhana. Aku hanya ingin kau merelakanku pergi."
Perempuan itu beranjak dari sofa tempat ia duduk. Ia melangkah ke tempat Alvin berdiri sedari tadi. Kemudian ia membuka kedua lengannya, memeluk tubuh Alvin yang terasa sangat dingin di dalam pelukannya. Ia mempererat pelukannya sementara ia bisa merasakan Alvin tak membalas pelukannya. Ia tahu ini harus ia lakukan, meskipun ia sendiri tak sanggup menghadapi hari esok tanpanya.
***
Alvin hanya terdiam. Ia tak bisa melakukan apa-apa. Tubuhnya sangat rapuh saat ini dan ingin rasanya ia menangis. Merasakan pelukan darinya membuat ia semakin tak bisa melepaskannya.
Baru saja Alvin akan mendekap perempuan itu, tiba-tiba saja ia melepaskan pelukannya dan melangkah pergi. Terdengar suara pintu terbuka lalu tertutup. Alvin hanya bisa berdiri membatu. Kakinya tidak bisa ia gerakkan sama sekali. Ia merasakan pandangannya mulai kabur, air mata mulai membasahi pipinya. Tak pernah ia rasakan ini, hatinya berkecambuk, kehilangan.
Alvin menjatuhkan badannya dan posisinya terduduk ketika mendarat di lantai. Ia menjambak rambutnya, berusaha menghilangkan penat di kepalanya. Kesedihan benar-benar menyelimuti dirinya.
"Mengapa.. kau lakukan ini padaku.. Mengapa.. Aku.. Aku.. Benar.. Benar.. Mencintaimu.. Emma.."
to be continued
"Bahagia? Ini kebahagiaan menurutmu? Setelah apa yang kita lewati bersama, kau menginginkan ini?"
"Tidak.."
"Lalu apa?"
"Aku hanya tidak bisa mengatakannya padamu."
Alvin geram. Ingin ia berteriak tetapi kata-kata perempuan itu selalu meluluhkannya. Ia tidak bisa.
"Sekarang apa maumu?"
"Apa?"
"Kau mendengarku."
Keheningan kembali menyelimuti ruangan di sekitar mereka. Perempuan itu tampak berpikir keras sebelum akhirnya ia kembali mengangkat kepala dan melihat ke dalam mata Alvin. Tatapan yang mengarah ke mata Alvin, tatapan yang membunuhnya dahulu kini tampak kosong.
"Permintaanku sederhana. Aku hanya ingin kau merelakanku pergi."
Perempuan itu beranjak dari sofa tempat ia duduk. Ia melangkah ke tempat Alvin berdiri sedari tadi. Kemudian ia membuka kedua lengannya, memeluk tubuh Alvin yang terasa sangat dingin di dalam pelukannya. Ia mempererat pelukannya sementara ia bisa merasakan Alvin tak membalas pelukannya. Ia tahu ini harus ia lakukan, meskipun ia sendiri tak sanggup menghadapi hari esok tanpanya.
***
Alvin hanya terdiam. Ia tak bisa melakukan apa-apa. Tubuhnya sangat rapuh saat ini dan ingin rasanya ia menangis. Merasakan pelukan darinya membuat ia semakin tak bisa melepaskannya.
Baru saja Alvin akan mendekap perempuan itu, tiba-tiba saja ia melepaskan pelukannya dan melangkah pergi. Terdengar suara pintu terbuka lalu tertutup. Alvin hanya bisa berdiri membatu. Kakinya tidak bisa ia gerakkan sama sekali. Ia merasakan pandangannya mulai kabur, air mata mulai membasahi pipinya. Tak pernah ia rasakan ini, hatinya berkecambuk, kehilangan.
Alvin menjatuhkan badannya dan posisinya terduduk ketika mendarat di lantai. Ia menjambak rambutnya, berusaha menghilangkan penat di kepalanya. Kesedihan benar-benar menyelimuti dirinya.
"Mengapa.. kau lakukan ini padaku.. Mengapa.. Aku.. Aku.. Benar.. Benar.. Mencintaimu.. Emma.."
to be continued
No comments:
Post a Comment